Urusan IT, Pilih In-House atau Outsource?

Yogi Saputro
4 min readMay 7, 2019

Katakanlah Robin, seorang entrepreneur muda, punya bisnis barbershop. Bisnisnya telah berjalan lebih dari setahun dan memiliki basis konsumen. Robin ingin merambah segmen konsumen sibuk dengan cara reservasi online. Berarti, Robin butuh sistem reservasi online untuk bisnisnya. Opsi yang dimiliki ada tiga:

  1. Merekrut software developer untuk membuat sistem secara mandiri.
  2. Menyewa jasa software house untuk membuat sistem dari awal.
  3. Membeli/berlangganan sistem reservasi yang sudah jadi.

Opsi mana yang paling menguntungkan bagi Robin?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita pindah ke cerita Baskara.

Baskara ingin membuka layanan kursus online untuk berbagai keahlian. Kursus online tersebut akan memiliki akses berbayar. Baskara telah menemukan partner pengajar kursus online. Di sisi lain, Baskara memerlukan sistem yang mumpuni dan mudah digunakan. Opsi pembuatan sistem Baskara pun ada tiga:

  1. Merekrut software developer.
  2. Menyewa jasa profesional.
  3. Membeli sistem jadi.

Opsi mana yang paling menguntungkan bagi Baskara?

Dua kasus di atas merupakan contoh keputusan strategik paling umum: lebih baik bikin sendiri atau cari yang sudah tersedia? Dalam dunia bisnis, pertimbangan ini dikenal dengan istilah make-or-buy decision. Pebisnis bisa memutuskan untuk make(melakukan sendiri suatu aktivitas bisnis), atau buy(menyerahkan suatu aktivitas bisnis kepada pihak ketiga, misalnya dengan membeli atau menyewa jasa), atau di tengah-tengah (kolaborasi dengan pihak lain dan berbagi tanggung jawab). Di sini saya akan menyebutnya in-house dan outsource dalam konteks dunia IT.

Dalam bidang IT, rentang in-house dan outsource itu lebar. Opsi in-house penuh artinya memiliki server sendiri, jaringan fisik sendiri, pengembangan perangkat lunak sendiri, operasional sendiri, dan maintenance pun sendiri. Industri perbankan Indonesia menerapkan hal tersebut karena telah diatur oleh Bank Indonesia. Tujuannya adalah untuk memastikan arus informasi bebas intervensi pihak luar. Di sisi lain, opsi outsource penuh artinya menyerahkan urusan IT kepada pihak ketiga. Pihak manajemen tahu urusan beres dan sesuai SLA. Di tengah-tengah kita mengenal banyak jenis layanan: IAAS, PAAS, SAAS, system integrator, kontrak, beli lepas, dan macam-macam.

Tentunya, seperti kebanyakan teori bisnis, tidak ada rumus pasti untuk menentukan mana yang lebih baik. Kembali ke kasus Baskara dan Robin, opsi yang sama bukan berarti jawabannya sama. Ada beberapa pertimbangan untuk menentukan pilihan. Tentunya pertimbangan itu perlu dikuantifikasi agar menghasilkan keputusan yang lebih objektif.

Pertimbangan pertama adalah biaya. Semakin murah biayanya, semakin baik. Kemudian, opsi in-house cenderung lebih mahal daripada outsource. Sebab, pihak ketiga penyedia jasa outsource punya sumber daya terspesialisasi. Profesional di bidang IT bisa membuat sistem lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah daripada Baskara dan Robin. Dari sisi biaya, lebih menguntungkan untuk menyewa profesional IT atau membeli produk jadi.

Pertimbangan kedua adalah kapasitas. Kita sudah tahu outsource lebih murah, tapi apakah bisa memenuhi kebutuhan kapasitas bisnis? Bagi Robin, kapasitas bisnisnya sesuai dengan kapasitas barbershop nya. Misalkan kapasitas barbershop per hari adalah 50 konsumen, penggunaan sistem reservasi online akan di bawah 1.000 request/hari atau <1 request/sec. Sementara bagi Baskara, kursus online nya apabila sukses akan diakses ratusan ribu pengguna per hari. Misalkan pengunjung kursus online 2.000.000 request/hari, Baskara butuh sistem dengan kapasitas 20 hingga 100 request/second. Bisakah pihak ketiga menyediakan hal tersebut? Bagi Robin, opsi outsource masih menjadi pilihan utama. Sementara Baskara perlu mencari pihak outsource yang mampu memenuhi SLA tinggi. Kalau tak ada yang memenuhi, Baskara perlu mengambil opsi in-house.

Pertimbangan ketiga adalah kaitan dengan strategi bisnis. Tentu kita sadar dunia bisnis itu dinamis. Langkah bisnis harus diambil agar unggul bersaing. Dampaknya adalah perubahan operasional, termasuk bidang IT. Dalam kasus Robin, mungkin saat ini dia hanya memerlukan sistem reservasi online. Bagaimana kalau di masa mendatang dia ingin bisa membagikan voucer kepada pelanggan loyal? Bagaimana kalau Robin juga ingin mengintegrasikannya dengan e-money? Apabila strategi bisnis menuntut perubahan IT secara cepat, opsi in-house lebih menguntungkan. Produk yang sudah jadi memiliki fitur terbatas. Profesional IT outsource biasanya menerapkan fixed scope, sehingga perubahan seperti itu rumit dan menambah biaya. Lain halnya jika lingkup IT nya hanya laman profil dan informasi perusahaan.

Pertimbangan terakhir adalah kaitan dengan bisnis inti. Bisnis inti adalah aktivitas bisnis utama yang bisa anda lakukan lebih baik daripada orang lain. Bisa jadi karena anda punya pengalaman, teknologi, atau proses yang lebih baik. Yang lebih penting, hanya anda yang tahu bisnis inti anda. Kalau kelebihan bisnis anda ditiru, keunggulan bisnis lenyap seketika. Dampaknya, segala hal yang berkaitan dengan bisnis inti harus dilakukan in-house, termasuk IT.

Panduan mudah untuk menentukan sistem IT termasuk bisnis inti adalah mengajukan pertanyaan berikut.

Tanpa sistem IT tersebut, apakah bisnis masih berjalan as per usual?

Dalam kasus Robin, sistem reservasi online merupakan usaha untuk merambah segmen pasar tertentu. Tanpa sistem tersebut, usaha barbershop Robin masih berjalan. Bisnis inti Robin adalah layanan potong rambut. Karena itu, Robin bisa outsource sistem reservasinya. Bagaimana dengan kasus Baskara? Dengan pendekatan sama, kita bisa memperkirakan bahwa bisnis Baskara tidak akan berjalan tanpa sistem kursus online. Baskara juga perlu mengusahakan agar sistemnya tidak ditiru. Langkah outsource berisiko tindakan peniruan. Tidak bisa tidak, Baskara harus memiliki tim profesional IT untuk mengembangkan sistem secara in-house.

Ringkasnya, untuk menentukan apakah sistem IT perlu dibuat secara in-house atau outsource, perhatikan 4 hal berikut.

  1. Apabila sistem IT berkaitan dengan bisnis inti, lakukan secara in-house.
  2. Apabila sistem IT akan sering berubah menyesuaikan strategi bisnis, lakukan secara in-house.
  3. Apabila sistem IT memerlukan kapasitas tinggi atau kebutuhan spesifik, lakukan secara in-house.
  4. Selain itu, outsource saja.

Sistem IT yang baik dimulai dari strategi bisnis yang baik. Dilanjutkan dengan perencanaan tepat dan eksekusi cepat. Saya memiliki pengalaman menyusun dan mengembangkan sistem IT yang berdampak positif terhadap bisnis. Kontak saya via:

--

--

Yogi Saputro

Software developer with MBA degree, mentor, somewhat fatherly figure, data and business synergy enthusiast